Tiga makhluk hidup yang teramat sangat gue benci di dunia ini adalah semut, kecoa, dan cicak. Kadang gue pengen bertanya sama Tuhan, kenapa ketiga mahkluk itu diciptakan? Tapi rasanya gue akan jadi manusia paling tidak bersyukur dan tidak percaya akan rencana Tuhan.
Gue takut sama semut karena kalau semut udah berkumpul dan membentuk sebuah koloni, itu bentuknya amat sangat menjijikan dan menyeramkan. Iyyuuuhhh. Terus kecoak dan cicak karena kedua hewan unyu ini akan lari kea rah kita saat diusir.
Saking takutnya gue sama cicak, pas gue lagi galau tingkat dewa, Tia pernah memberikan ungkapan yang sebenernya konyol tapi ada benarnya juga. “Des, kalo ada dua jalan ke Jatinangor, yang satu deket tapi ada cicak segede lo dan yang satu lagi harus muter ke Kalimantan tapi aman, lo akan pilih yang mana?” Rasanya Tia pengen gue cincang-cincang karena ungkapan ini bikin gue nggak bisa tidur mikir ada cicak dan itu segede gue! Jawaban gue tentu saja bakalan rela muter-muter sampe Kalimantan demi nggak ketemu cicak itu.
Tia bilang, intinya sebesar dan sesulit apapun masalah gue, pasti selalu ada cara untuk menyelesaikannya. Tinggal terserah pilihan gue, mau milih yang singkat tapi caranya susah atau yang prosesnya lebih lama tapi jalaninnya lebih nyaman.
Balik lagi ke cicak, mungkin Tuhan nggak suka kalau gue sampai terlalu benci sama makluk ciptaan-Nya. Makanya Tuhan memberikan suatu tragedy besar ke gue. Mama dan papa lagi plesir ke Komering (Sumatera Selatan) untuk bisnis dan jenguk nenek. Lalu gue diberikan mandate sama mama untuk berperan sebagai “ibu rumah tangga” selama mama pergi. Gue merasa semua tugas gue lancar sampai suatu hari, gelas kesayangan papa kemasukan cicak di meja makan.
Bencana, ini benar-benar bencana besar. Siapa yang akan mengeluarkan si makhluk menjijikan itu dari dalam gelas. Rasanya sih udah pengen gue buang aja tuh gelas. Tapi nanti gimana perasaan papa saat tahu kalau gelas kesayangannya raib di telan bumi. Kakak dan adik gue pun nggak bisa diharapkan.
Saking nggak sanggupnya melihat kejadian itu, gue biarin aja tuh cicak selama seharian di dalam gelas, berharap kalau dia cukup cerdas untuk buru-buru keluar dari gelas itu. Tapi dasar cicak, udah nyeremin dodol pula!! Dia diem aja macam batu di dalam gelas. Seharian penuh didiemin nggak ada yang mau nyuci juga. AH!!!
Bener-bener rasanya mau gue buang itu gelas. Tapi mikir sekali lagi, pasti nanti papa akan sedih, atau niatnya gue diemin aja sampe mama pulang dan biarlah mama (yang lebih tangguh dari super hero manapun) yang mengeluarkan cicak itu dari sana. Tapi mama adalah tipe orang yang Cuma takut sama Tuhan, orangtua, dan suami. Jadi pasti mama akan mencuci gelas itu seolah gelas itu nggak menjijikan, dan gue nggak tega membiarkan papa minum dari gelas yang bekas ada cicaknya.
Maka mulailah gue mengumpulkan keberanian, tarik napas panjang. Gue bawa gelas itu ke kran air. Isi gelas itu sampai airnya dan tentu saja cicaknya keluar dari sana (berenang-berenang deh cicaknya, dan itu amat sangat menyeramkan). Lalu setelah makhluk itu pergi entah ke mana, gue cuci gelasnya pakai sabun beberapa kali. Lalu gue inget, kalo di rumah sakit suka ada sterilisasi alat dengan merebusnya atau menyiramnya dengan air panas. Oke, buru-buru ambil air panas, siram, cuci lagi, bilas lagi, cuci lagi, dan bilas lagi. Berkali-kali sampai gue yakin nggak ada sisa-sisa kejahatan dari si makhluk menjijikan itu.
Terulang lagi kata-kata yang pernah Tia bilang ke gue. Sebesar apapun masalah yang gue hadapi pasti ada cara untuk menyelesaikannya. Dan sebesar apapun cicak yang ada di dalam gelas papa, pasti selalu ada cara untuk mengeluarkannya dan mensterilkan gelasnya. :D
No comments:
Post a Comment